"sebuah kerikil hanya akan membuat bayangan kerikil. anda tidak akan bisa membangun bayangan sebesar gunung bila anda tidak membangun sebuah gunung. kita, anda & saya, tidak akan mampu membangun reputasi yang baik dan besar tanpa lebih dahulu membangun sebuah pribadi yang berkualitas"
( salam super. mario teguh)

Senin, 08 Februari 2010

Ibadah yang Paling Agung

Sumber: ensiklopedi nurcholish madjid

Shalat adalah ibadah yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang Muslim. Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekadar menjalankannya. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji (Q., 29: 45), dan firman-Nya lagi, Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat…(Q., 70: 19-22). Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalankan shalat hanya dalam bentuknya saja seperti dalam gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadah itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan, dan peningkatan budi. Allah berfirman, Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan (Q., 107: 4-7). Mereka itu dinamakan “orang yang shalat” karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekua-saan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan, atau persetujuan mereka. Kedua, pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya, namun tanpa memerhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasia serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan.

Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama dari Arab, Al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ{38} إِلاَّ أَصْحَابَ الْيَمِينِ{39} فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ {40} عَنِ الْمُجْرِمِينَ {41} مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ{42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ {43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ {44} وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ {45} وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ {46} حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ {47}

Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya kecuali golongan yang beruntung (kanan). Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa: “Apa yang membawa kamu ke neraka?” Sahut mereka, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang shalat, dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena, dan kami dustakan adanya hari pembalasan, sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)” (Q., 74: 38-47).

secara tegas, yang membuat orang-orang itu “masuk neraka” ialah karena mereka tidak pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam, dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat).

Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat—shalat selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita—ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya ma-syarakat yang penuh kedamaian, keadilan, dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar