"sebuah kerikil hanya akan membuat bayangan kerikil. anda tidak akan bisa membangun bayangan sebesar gunung bila anda tidak membangun sebuah gunung. kita, anda & saya, tidak akan mampu membangun reputasi yang baik dan besar tanpa lebih dahulu membangun sebuah pribadi yang berkualitas"
( salam super. mario teguh)

Senin, 08 Februari 2010

Humanisme Barat

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

“Sepuluh Perintah” yang diterima oleh Nabi Musa a.s. merupakan inti Kitab Taurat yang banyak disebutkan dalam Al-Quran, sebagai “petunjuk dan cahaya” untuk umat manusia. Karena pentingnya “Sepuluh Perintah” yang disampaikan Allah kepada Nabi Musa a.s. di atas Gunung Sinai itu, maka Allah pun, dalam sebuah firman suci, bersumpah dengan Gunung Sinai (Thûr Sînâ), di samping dengan pohon thîn (fig), dengan buah atau bukit Zaithun dan dengan negeri yang aman-sen¬tosa, yaitu Makkah. Sebagai bukti betapa besarnya penga¬uh “Sepuluh Perintah” itu adalah adanya pengakuan para ahli bahwa peradaban Barat yang dominan sekarang ini merupakan peradaban yang didasarkan kepada “Sepuluh Perintah” melalui tradisi budaya keagamaan Yahudi Kristen (Judeo Christian), selain budaya sosial-politik Yunani-Romawi (Graeco-Roman).

Namun sesungguhnya tidaklah benar jika dikatakan bahwa peradaban Barat yang sekarang dominan hanya karena tradisi keagamaan Yahudi-Kristen dan tradisi kebudayaan Yunani-Romawi. Justru jika kita ambil tiga hal yang paling menonjol dalam peradaban Barat itu, yaitu Kemanusiaan, Ilmu pengetahuan dan Teknologi, maka dasar-dasarnya harus dicari dalam “Daerah Berperadaban” (Arab: al-Dâ`irah al-Ma`mûrah, Yunani: Oikoumene), yaitu kawasan daratan bumi yang terbentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Lautan Teduh di timur, dengan inti daratan yang terbentang dari sungai Nil di barat sampai sungai Amudarya (Oksus) di timur. Dan daerah itu adalah daerah yang peradabannya memuncak dalam peradaban Islam.

Dari segi paham Kemanusian, pengaruh peradaban Islam dapat dilihat pada pikiran-pikiran kefalsafatan manusia Giovanni Pico della Mirandola, salah seorang pemikir humanis terkemuka zaman Renaissance Eropa. Ia mengucapkan sebuah orasi ilmiah ten-tang harkat dan martabat manusia di depan para pemimpin gereja, dan membuka orasinya itu dengan kalimat (terjemah Inggrisnya): “I have read in the records of Arabians, reverend Fathers, that Abdala (`Abd Allâh,) the Saracen, when questioned as to what on this stage of the world, as it were, could be seen most worthy of wonder, replied: ‘There is nothing to be seen more wonderful than man.” In agreement with this opinion is the saying of Hermes Trismegistus: “A great miracle, Asclepius, is man.’” (Saya telah membaca, para Bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas panggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang paling menakjubkan, ia menjawab: “Tidak ada yang dapat dipandang lebih menakjubkan daripada manusia.” Sejalan dengan pendapat ini adalah perkataan Hermes Trismegistus, “Sebuah mukjizat yang hebat, wahai Asclepius, ialah manusia”).
Menurut Paul Oskar Kristeller, kemungkinan ‘Abd Allâh atau Abadilla itu adalah keluarga Nabi. Boleh jadi dia adalah salah seorang tokoh Syi’ah seperti Abdullah ibn Ja’far Al-Shadiq atau Abdullah Al-Mahd yang pernah menjadi Khalifah di Maghrib (909-934 M). Dengan pangkal tolak itu Giovanni membeberkan paham kemanusiaannya. Meskipun Giovanni kemudian dimusuhi Gereja dan karena tidak tahan kemudian “bertaubat”, namun pandangannya itu merupakan salah satu fondasi paham kemanusiaan dan keadilan di Barat, yaitu humanisme modern.

Perpisahan atau pertentangan antara agama dan humanisme di Barat akibat persimpangan jalan antara para pemimpin agama dan failasuf di masa-masa awal Kebangkitan Kembali (Renaissance) itu amatlah disayangkan. Sebab Humanisme itu kemudian tumbuh dan berkembang terlepas dari bimbingan keruhanian. Puncaknya ialah Komunisme, suatu ideologi yang berpangkal dari kegemasan para humanis menyaksikan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat industri yang awal, dan merupakan ajaran yang didorong oleh rasa kemanusiaan yang sangat mendalam dengan program-program yang ambisius. Pertentangan dengan agama akhirnya mengakibatkan ajaran yang sangat kuat bermotifkan rasa keadilan ini secara confessional mengajarkan sikap-sikap antiagama dan ateisme.
Dari situlah kita melihat ironi pada komunisme, yaitu suatu pandangan hidup kelanjutan humanisme namun ternyata harus diwujudkan dengan cara-cara yang sangat melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan (misalnya kekejaman Stalin). Ini sangat disesali oleh Albert Camus, dan menimbulkan kebingungan luar biasa baginya, sehingga ia pun putus asa dan keluarlah dari dia pandangan hidup pesimis melalui konsep-konsep “absurditas.” Karena putus asa, Albert Camus terkenal dengan adagiumnya: All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is is not sufficient, artinya “Semua yang telah lewat sudah tidak ada, semua yang akan datang belum terjadi, dan semua yang ada sekarang tidak mencukupi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar