"sebuah kerikil hanya akan membuat bayangan kerikil. anda tidak akan bisa membangun bayangan sebesar gunung bila anda tidak membangun sebuah gunung. kita, anda & saya, tidak akan mampu membangun reputasi yang baik dan besar tanpa lebih dahulu membangun sebuah pribadi yang berkualitas"
( salam super. mario teguh)

Senin, 08 Februari 2010

Historisitas Ajaran Keagamaan

Sumber: ensiklopedi Nurcholish Madjid, buku II, h. 875
Sebagaimana diketahui bahwa masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi) suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut dapat berbeda-beda antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan rektor Al-Azhar, pendirian Abu Bakar dan Umar membuktikan bahwa yang dituju oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkamu turadu li ma‘âniha). Ini membawa kita kembali pada polemik sekitar kiblat shalat yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangkut for-malitas penghadapan wajah ke arah tertentu, tidaklah dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan maknanya. Karena lebih penting daripada formalitas, maka makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam keadaan tertentu boleh ditinggalkan.
Konsep asbabun nuzul (asbâb al-nuzûl) mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nâsikh-mansûkh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya dikembangkan oleh para ahli fiqih dengan kepeloporan Imam Al-Syafi’i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari Al-Quran ataupun Hadis yang “dihapus” (mansûkh) dan yang “menghapus” (nâsikh). Meskipun teori “hapus menghapuskan” ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama menganutnya, dengan perbedaan di sana-sini dalam hal materi mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang asbabun nuzul, konsep nâsikh-mansûkh juga mengandung kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam.
Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Menurut Hodgson, yang ikut berharap bahwa umat Islam akhirnya akan mampu menjawab tantangan zaman. Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab, kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apa pun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman ruhani baru. Al Syafi’i membawa ke depan kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi) Muhammad sendiri ketika ia menekankan pemahaman Al-Quran secara benar-benar konkret dalam interaksi historisnya dengan kehidupan Nabi Muhamad dan masyarakat beliau. Ia (Al-Syafi’i) melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu, tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula; dan meskipun oleh kaum muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan sejarah masa lalu Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan keagamaan.

Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyiddin ibn Al-‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, dalam syarah Al-Syaikh Abdurrazzaq Al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padahal inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran tentang pasrah kepada Allah (Islâm) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tawhîd). Dalam syarah Fushâsh al-Hikam diuraikan bahwa jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para nabi itulah yang dimaksud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran (dari Tuhan), lalu mengapa agama para nabi itu berbeda-beda? Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada Para Nabi adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran. Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat dan kejiwaan mereka.
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama. Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka dapat disebut “tidak historis”.

Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari asbabun nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakukan generalisasi tinggi dari makna immediate-nya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnnya (Q., 14: 4). Maka meskipun bahasa para nabi itu bermacam-macam, namun tujuan dan makna risâlah mereka adalah sama. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar kita waspada jangan sampai terkungkung oleh lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap mental seolah-olah suatu nilai akan hilang kebenarannya jika tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar