"sebuah kerikil hanya akan membuat bayangan kerikil. anda tidak akan bisa membangun bayangan sebesar gunung bila anda tidak membangun sebuah gunung. kita, anda & saya, tidak akan mampu membangun reputasi yang baik dan besar tanpa lebih dahulu membangun sebuah pribadi yang berkualitas"
( salam super. mario teguh)

Senin, 08 Februari 2010

Golongan Penengah

Golongan Penengah I

Secara normatif, umat Islam dalam Kitab Suci dinyatakan mengemban tugas suci sebagai “golongan penengah” (ummat wasath) yang berkewajiban menjadi saksi atas sekalian umat manusia. Dengan sikap hidup yang menjunjung tinggi moral dan akhlak (melakukan al-amar bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar) atas dasar iman kepada Tuhan, maka umat Islam dinyatakan sebagai “umat yang terbaik, yang diketengahkan untuk umat manusia” guna mengambil peranan kepemimpinan. Ketentuan nor¬matif itu, seperti halnya setiap ketentuan tentang “ apa yang seharusnya,” dalam sejarah sering berbenturan dengan fakta-fakta keras, yang memaksa ketentuan-ketentuan normatif itu untuk melakukan kompromi-kompromi. Karena itu, seperti dinyatakan oleh Marshall Hodgson, sejarah umat Islam adalah sejarah sebuah “ percobaan” (venture) menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya, dalam konteks sejarah dan hukum-hukumnya yang objektif dan immutable itu. Karena itu sukses atau gagalnya percobaan itu tidak terletak pada ketentuan-ketentuan normatifnya, melainkan pada faktor manusia dan pengalamannya yang menyejarah dan bernilai kesejarahan. Tidak ada gejala kema¬nusiaan yang tidak bersifat ke¬sejarahan, kecuali wahyu-wahyu yang dapat dipandang sebagai wujud keputusan khusus Tuhan untuk orang tertentu yaitu para nabi. Tetapi para nabi itu sendiri, dipandang dari segi kepribadiannya sebagai seorang manusia, adalah wujud historis, dengan hukum-hukum kemanusiaannya (disebut al-a‘râdl al-basyariyyah).

Kitab Suci Al-Quran, misalnya, mengingatkan semua orang beriman bahwa Muhammad hanyalah seorang Rasul yang juga seorang manusia, sehingga dapat mati, bahkan dapat terbunuh. Maka sikap menerima kebenaran tidak boleh dikaitkan dengan segi kenyataan manusiawi pembawanya, baik pribadi maupun umat, yang merupakan wujud kesejarahan biasa.

Pandangan dasar itu dapat digunakan untuk memahami kenyataan-kenyataan penuh anomali, malah sangat menyedihkan, dalam masa-masa sejarah Islam yang paling dini, khususnya kejadian-kejadian yang dinamakan “ fitnah besar” (al-fitnah al-kubrâ). Di antaranya seperti peristiwa pembunuhan Khalifah III, Utsman ibn Affan, perang antara Ali ibn Abi Thalib dan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan, Revolusi ‘Abbasiyah, perang antara Al-Amin dan Al-Ma’mun, dan lain sebagainya.


Golongan Penengah II

Salah satu deskripsi Kitab Suci tentang kaum beriman ialah bahwa mereka itu dijadikan atau dirancang untuk menjadi golongan penengah (ummat wasath) agar menjadi saksi atau sekalian manusia, sebagaimana Rasulullah, Nabi Muhammad Saw. menjadi saksi atas mereka, kaum beriman sendiri (Q., 2: 143). Dalam bahasa Arab, seseorang yang memerankan dirinya sebagai penengah antara dua kelompok yang berselisih disebut wasîth (yang kita pinjam dalam bahasa nasional kita dan menjadi “wasit,” yakni “penengah”).

Maka kiranya sudah amat jelas apa yang dimaksud dalam Kitab Suci bahwa kaum beriman adalah ummat wasath. Yaitu bahwa mereka diharuskan, atau setidak-tidaknya diharapkan, menampilkan diri mereka begitu rupa, sehingga dapat bertindak sebagai wasit dan saksi dalam pergaulan di antara sekalian umat manusia. Itu berarti bahwa mereka harus bertindak adil, sebab keadilan sebagai sikap dan wawasan adalah prasyarat mutlak bagi sahnya peran wasit atau saksi. Dan, suatu hal yang amat menarik sekaligus penting sekali diperhatikan, perkataan Arab, “adl” itu sendiri, menurut makna asalnya, adalah nama dengan “wasit,” yaitu makna yang berintikan sikap menengahi, dalam arti sikap secara apriori memihak salah satu dari dua atau lebih kelompok yang berselisih, melainkan dengan teguh mempertahankan kebebasan untuk menilai yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah.

Jadi jika disebutkan bahwa kaum beriman atau orang-orang Muslim itu dirancang Allah sebagai kelompok penengah (harap perhatikan, bukannya “kelompok menengah” atau “middle class”) maka salah satu artinya ialah bahwa mereka harus memelihara kemampuan yang tinggi untuk mengakui kebenaran mereka yang benar di kalangan umat manusia, serta untuk menyalahkan mereka yang salah. Dengan kata-kata lain, kaum beriman harus selalu bersikap fair, jujur, objektif, tidak dikuasai oleh dorongan nafsu senang—tidak senang (like-dislike). Oleh sebab itu, berkaitan dengan ini, terkenal sekali peringatan Sayyidina Ali r.a. yang mengatakan, “Perhatikanlah yang dikatakan orang, jangan memerhatikan siapa yang mengatakan”. Sebab sekali kita lebih banyak memerhatikan siapa yang menga¬takan dan bukannya sub¬stansi apa yang dikatakanya, maka sangat besar kemungkinan kita akan dikuasai oleh perasaan senang-tidak senang terhadap orang itu dan kita kehilangan perspektif keadilan. Sikap inilah yang dahulu diterapkan dengan konsisten oleh orang-orang Muslim klasik, sehingga mereka mampu menyerap berbagai segi positif peradaban umat manusia dari mana saja asalnya, sekaligus mempertahankan keteguhan iman untuk menolak mana yang tidak baik. Dan itulah “amar ma’rûf nahî munkar” dalam skalanya yang menyeluruh.

Sementara itu guna melengkapi pengertian ini, A Yusuf Ali, seorang penafsir Al-Quran yang terkenal dan diakui otoritasnya, memberi makna wasath sebagai “justly balanced” (berkeseimbangan dengan tepat). Maka dikatakannya, “Esensi Islam ialah menghindari semua bentuk sikap berlebihan dalam kedua ujungnya (plus-minus). Dia adalah agama yang wajar dan praktis”. Tafsiran itu kiranya sangat tepat, sebab sikap berlebihan akan menjadi penghalang kaum beriman untuk menjadi wasit dan saksi atas umat manusia.

sumber: ensiklopedi Nurcholish Madjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar